BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat
diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan
kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam
melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi lebih
mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu
yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama.
Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat
memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik
dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya
antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi
sosialnya dengan berbagai budaya.
Posisi penting manusia dalam
Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami
agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami
manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam
kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para
antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan
membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious atau mystical
event. Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari
yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan
teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau
kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Dengan demikian memahami Islam
yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami
manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan
dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah
terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi
sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi
gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan antropologis?
2. Bagaimana perkembangan kajian dari antropologis?
3. Bagaimana karakteristik dasar pendekatan antropologis?
4. Apa saja aliran-aliran dalam pendekatan antropologis?
5. Bagaimana aplikasi pendekatan antropologis dalam studi
islam?
6. Bagaimana signifikansi antropologis dalam pendekatan
studi islam?
7. Bagaimana studi islam pendekatan antropologis di
Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian antropologis
2. Untuk mengetahui perkembangan kajian dari antropologis
3. Untuk mengetahui karakteristik dasar pendekatan antropologis
4. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam pendekatan antropologis
5. Untuk mengetahui aplikasi pendekatan antropologis dalam studi islam
6. Untuk mengetahui signifikansi antropologis dalam pendekatan studi islam
7. Untuk mengetahui studi islam pendekatan antropologis di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Antropologis
Antropologi terdiri dari
kata Antropos dan Logos. Antropos berarti manusia sedangkan Logos berarti Ilmu. Secara terminologi antropologis adalah ilmu
tentang manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan
manusia yang diperoleh sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan
menginterpretasikan pengalaman dan lingkungan dan mendasari serta mendorong
tingkah lakunya.
Antropologi memerhatikan terbentuknya pola-pola perilaku manusia dalam tatanan
nilai yang dinanti dalam kehidupan
manusia.
Kebudayaan mencakup tiga aspek yaitu
pemikiran kelakuan dan hasil kelakuan. Kebiasaaan manusia pada dasarnya adalah
serangkaian aturan-aturan atau kategorisasi-kategorisasi serta nilai-nilai.
Kebudayaan bukan hanya ilmu pengetahuan saha, tetapi juga hal-hal yang buruk,
bahasa, dan lain sebagainya. Kebudayaan meliputi unsur-unsur, sistem sosial,
sistem bahasa dan komunikasi, sestem agama, sistem ekonomi dan teknologi,
sistem politik dan hukum. Yang termasuk penelitian budaya adalah penelitian
tentang naskah-naskah, alat-alat ritus keagamaan, sejarah agama, nilai-nilai
dari mitos-mitos yang dianut pemeluk agama, dan lain sebagainya.
Dalam konteks sebagai metodologi,
antropologi merupakan ilmu tentang masyarakat dengan titik tolak dari
unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa dan unsur-unsur dan
sejarah perkembangannya serta pesebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan
manusia dalam masyarakat. Memahami islam berdasarkan hal-hal tersebut di atas.
Contohnya adalah dalam memahami kisah atau cerita di dalam kitab suci Al-Qur’an
yang dianalisis dengan pendekatan antropologi.[1]
Secara
garis besar antropologi –sebagai sebuah ilmu- memiliki cabang-cabang ilmu yang
terdiri dari:
1. Antropologi Fisik
a.
Paleoantropologi, yaitu ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi
manusia dengan meneliti fosil-fosil.
b.
Somatologi, yaitu ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan
mengamati ciri-ciri fisik.
2. Antropologi Sosial-Budaya
a.
Prehistori, yaitu ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan
perkembangan semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.
b.
Etnolinguistik
Antropologi, yaitu ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata
bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
c.
Etnologi, yaitu ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam
kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
d. Etnopsikologi, yaitu ilmu
yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam
proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep
psikologi.
B.
Perkembangan Kajian Antropologis
Antropologi sebagai
sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Menurut Koentjaraninggrat antropologi sebagai sebuah ilmu mengalami empat
fase (tahapan) dalam perkembangannya. Meliputi:
1. Fase Kesatu : sebelum tahun 1800-an.
Sekitar abad ke-15-16 M,
bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia.
Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan
hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan
dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal
perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku
asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang
berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografiatau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar
di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 M perhatian bangsa Eropa terhadap
bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat
besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan
bahan etnografi.
2. Fase Kedua : pertengahan abad 19 M.
Pada fase ini bahan-bahan etnografi tersebut telah
disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Masyarakat dan
kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama.
Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal dan menganggap Eropa sebagai
bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Pada fase ini antropologi bertujuan akademis mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan
primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat
sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
3. Fase Ketiga : awal abad ke-20 M
Pada fase ini negara-negara di Eropa berlomba-lomba
membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia
dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai
kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca
yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam
menghadapinya pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari
kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai
mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa,
mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
4. Fase Keempat : setelah tahun 1930-an
Pada fase ini antropologi berkembang secara pesat.
Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa, mulai hilang
akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di
Eropa: Perang Dunia
II. Perang ini membawa
banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara
di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan,
kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu
juga muncullah semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar
dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka.
Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa
yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan
tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada
penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah
pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Menurut David N. Gellner, antropologi bermula pada abad 19 M. Pada abad ini antropologi dimaknai sebagai penelitian
–yang difokuskan- pada kajian asal-usul manusia. Penelitian antropologi
tersebut mencakup pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate)
serta meneliti masyarakat manusia,
apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini
antropologi dikembangkan dalam paradigma evolusi sebagai ide kunci.
Antropologi –masih menurut David N Gellner- juga
tertarik untuk mengkaji agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di
kalangan mereka, misalnya pertanyaan: Apakah bentuk agama yang paling
kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah
agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu
bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama
primitif itu sangat digemari pembaca-nya pada abad ke 19 M. Antropologi abad 19
M tampak menghasilkan setidaknya dua karya besar tentang kajian agama: The Golden Bough (1890)
karya Sir James Frazer dan The Element Forms of Religious Life (1912)
karya Emil Durkheim.[2]
C.
Karakteristik Dasar Pendekatan Antropologis
Antropolgi merupakan ilmu yang mengkaji manusia dan
budayanya. Tujuan antropologi adalah memperoleh pemahaman totalitas manusia
sebagai makhluk, baik di masa lampau maupun sekarang, baik sebagai organisme
biologis maupun sebagai makhluk berbudaya. Oleh karena itu, para
antropolog mengkaji sifat-sifat khas fisik manusia serta sifat khas budaya yang
dimilikinya. Salah satu konsep terpenting dalam antropologi modern adalah
holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam
konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang
lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Sebagai contoh, para antropolog
harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan, politik,
magik, dan pengobatan “secara bersama-sama”. Maka, agama misalnya tidak bisa
dilihat sebagai sistem otonom yang tidak berpengaruh oleh praktik-praktik
sosial lainnya.
Pada umumnya, metode pendekatan antropologi memiliki
ciri yakni bahwa objek atau subjek-matternya sekelompok manusia
yang meliputi seluruh aspek kebudayaannya, jadi agama tidak diteliti secara
sendiri, akan tetapi diteliti dalam kaitannya dengan aspek-aspek budaya yang
lain dari sekelompok manusia beragama yang dipelajari tersebut. Lebih
kongkretnya objek studi antropologi terhadap agama adalah model-model keagamaan
atau bagian dari model-model keagamaan dari suatu kelompok manusia. Yang
dimaksud dengan model keagamaan misalnya mite, upacara, totem,
magik, dan lain-lain. Metode dalam pendekatan antropologi ialah
metode deskriptif, komparasi, studi kasus, etnografis, dan survey.
Menggunakan pendekatan antropologi untuk mengkaji
agama sebagai konsekuensinya memerlukan konsep kebudayaan,
dalam menerapkan konsep tersebut juga menggunakan prinsip-prinsi
ilmiah. Adapun dasar dari pendekatan secara ilmiah mengenai agama ada empat
bagian, diantaranya:
1. Universalitas
Universalitas berarti tanpa mengatakan secara langsung
bahwa penghampiran antropologis itu mencangkup keseluruhan agama-agama yang
kita ketahui. Bahwa universalitas tidak menolak untuk menerima sesuatu atas
dasar “karena pengalaman”, karena “senang beragam”, karena “keturunan” atau
semacam pertimbangan-pertimbangan yang tidak ilmiah.
2. Empirisme
Studi agama dalam antropologi adalah bersifat empiris,
karena merupakan hasil riset dari lapangan. Data utama yang dipergunakan untuk
menganalisa adalah hasil kumpulan oleh para antropolog melalui
kontak langsung dengan para responden atau para pendukung berbagai macam
tradisi kebudayaan.
3. Komparasi
Melalui komparasi sistematik dari fenomena keagamaan
yang serupa. para antropolog sedikit banyak mencoba untuk mencapai generalisasi
penuh. Bentuk komparasi juga muncul dalam kaitan yang bersifat historis, serta
rentera-remteran evolusi, atau bisa dianggap juga sebagai suatu dasar
pengambilan tipologi.
4. Objektifitas
Di kalangan studi agama secara antropologis menuntut
bahwa seorang peneliti harus objektif dan tidak memihak. Sebagai seorang
antropolog ia tidak berminat pada masalah kemungkinan benar ataupun palsunya
kepercayaan tertentu. Namun ia berminat pada adanya kepercayaan itu serta pentingnya
kepercayaan-kepercayaan.
Keempat prinsip-prinsip tersebut setelah dipadukan
dengan pendekatan holistik serta penerapan konsep kebudayaan adalah merupakan
dasar metode antropologi. Para antropolog menggunakan metode-metode tersebut
tidak hanya mengkaji kelompok-kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga dalam
banyak hal para antropolog mengalihkan perhatiannya pada salah satu fenomena
seperti: bahasa, organisasi pertalian keluarga, ataupun agama. Dengan demikian
mereka telah mengembangkan pengkajian yang ada di lapangan. Oleh karena itu,
penyelidik atau peneliti agama secara antopologis memberikan pengertian tidak
hanya di dalam masalah tabiat pembawaan agama itu sendiri, akan tetapi dalam
berbagai macam lembaga-lembaga budaya, dalam tingkah laku manusia, dan
pola-pola interaksi serta dalam sejarah manusia. Dalam pengertian lain,
penelitian agama dalam pendekatan antropologi bukanlah meneliti hakekat agama
dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia sebagai perilaku yang menghayati,
meyakini, dan menjalankan perintah (berperilaku) terhadap ajaran agama.
Penelitian agama dalam pandangan ilmu sosial adalah mengkaji bagaimana agama
itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial, berdasarkan fakta atau realitas
sosial-kultural.
Hilman Hadikusuma berpendapat, untuk menjawab
persoalan dalam antropologi agama kita bisa melalui empat macam metode ilmiah.
Pertama, metode historis, yakni menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang
agamanya yang berlatang belakang sejarah, sejarah perkembangan budaya agama
sejak budaya masyarakat manusia masih sederhana sampai budaya agama sudah maju,
misalnya: proses bagaimana timbul dan berkembangnya sebuah agama. Kedua, metode
normatif, yaitu mempelajari norma-norma (kaidah, patokan, atau sastra kitab
suci) maupun yang merupakan perilaku adat kebiasaan tradisional yang masih
berlaku, baik dalam hubungan manusia dengan alam gaib maupun dalam hubungan
antara sesama manusia yang bersumber dan berdasarkan agama. Ketiga, metode
deskriptif, yaitu metode yang berusaha mencatat, menguraikan, melukiskan, dan
melaporkan segala sesuatu yang ditemukan di masyarakat berkaitan dengan objek
yang diteliti, seperti yang dilakukan oleh para etnografer. Keempat, metode
empirik, yakni yang mempelajari pikiran sikap dan perilaku agama manusia yang
ditemukan dari lapangan, artinya, memerhatikan segala sesuatu yang dipikirkan,
diyakini, dirasakan, dan dikerjakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Dengan
demikian metode yang tepat untuk ini adalah dengan wawancara mendalam (in-depth
interview), serta observasi parsitipatoris (participant observation).[3]
D.
Aliran-Aliran dalam Pendekatan Antropologis
A.
Aliran Fungsional
Tokoh aliran fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942).
Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional,
walaupun sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak
rasional. Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang
pemikiran masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta
menyatakan pandangan mereka tentang dunia.
B.
Aliran Historis
Tokoh aliran antropologi histori ini adalah E.E. Evans Pritchard
(1902-1973). Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :
a.
Seperti halnya sejarah,
berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya
menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti
sendiri.
b.
Seperti halnya
pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya
dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
c.
Struktur masyarakat
dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan
kebudayaan yang berbeda.
E.Evans Pritchard berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga
berpikir rasional seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku
Nuer, ia menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer
seperti Kowth yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif
tradisi lisan mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus
mereka. Disamping itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin
menemukan apa yang dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan
segala yang berada di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara
sosial.
C. Aliran Struktural
Tokoh pendekatan antropologi structural
adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya adalah keluarga
masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa dan mite menggambarkan
kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara alam dan budaya itulah
dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti. Baginya alam
mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam diartikan segala sesuatu yang
diwarisi manusia oleh manusia dari manusia sebelumnyasecara biologis, artinya
tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta dipelajari. Sedangkan budaya adalah
segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan semua adat
istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif.[4]
E.
Pendekatan Antropologis dan Aplikasinya dalam Studi Islam
Dalam dunia ilmu pengetahuan, menurut
Parsudi Suparlan, makna dari istilah ”pendekatan” adalah sama dengan
”metodologi” yaitu ”sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu
yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji“. Adapun yang dimaksud pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma
yang terdapat didalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam
memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh
Abuddin Nata, mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma. Realitas keagamaan yang diuangkapkan mempunyai nilai kebenaran
sesuai dengan kerangka paradigmanya. Dengan demikian pendekatan antropologis
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sudut pandang atau cara melihat
(paradigma) memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan
menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan dalam
melihat, memperlakukan dan menelitinya.
Pendekatan antropologis dalam memahami
agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara
melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan
kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam
melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang
mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi
mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami
perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan
komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya
antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi
sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa
pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena
konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan
simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Agama diperuntukkan untuk kepentingan
manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan
persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas
manusia menjadi bagian realitas ketuhanan. Di sini terlihat betapa kajian
tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat
penting.
Dalam pandangan Dawam Raharjo, antropologi
dalam hal ini penelitiannya lebih menggunakan pengamatan langsung, bahkan
sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya
induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam
pengamatan sosiologis. Dawam menambahkan penelitian antropologis yang induktif
dan gronded, yakni turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya
berupaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya
sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih
ekonomi yang mempergunakan model matematis, banyak juga memberikan sumbangan
kepada penelitian historis.
Dalam aplikasinya, berbagai penelitian
antropologi agama dapat dikemukakan hubungan yang positif antara kepercayaan
agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu
dan golongan miskin yang lain, pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan
keagamaan yang bersifat menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan.
Sedangkan orang kaya lebih cendrung untuk mempertahankan tatanan masyarakat
yang sudah mapan secara ekonomi lantaran itu menguntungkan pihaknya.
Penelitian bidang antropologi agama juga
dilakukan oleh Clifford Geertz yang hasil penelitiannya yang telah dituliskan
dalam sebuah buku yang berjudul The Religion of Java. Arti penting dari karya
Geertz ini adalah sumbangan pemikirannya dengan simbol-simbol yaitu bagaimana
hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan
pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota
masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara
mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu.
Menurut Geertz dalam penelitiannya di
Mojokerto kebudayaan Jawa memiliki struktur-struktur sosial yang berlainan.
Struktur-struktur sosial itu adalah Abangan(berpusat di pedesaan), Santri
(berpusat di perdagangan atau pasar), dan Priyai (berpusat di kantor
Pemerintahan, di kota). Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya
trikotomi abangan, santri dan priyayi didalam masyarakat Jawa, ternyata telah
mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara
agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus
interaksi antara agama khususnya Islam dan budaya di Jawa, pandangan Geertz
telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi
antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang
mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan
kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan
masyarakat Jawa berdasar religio kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang
para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang
adanya pengelompokkan masyarakat Jawa kedalam kelompok sosial politik
didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan
masyarakat Jawa kedalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik,
yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri.
Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian
dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam
birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih
dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai
nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian
besar terhadap masalah keagamaan.
Dalam melakukan penelitiannya Geertz
menggunakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan
pada data-data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan (servey) dan
penelitian Grounded research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat dalam
kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Dengan demikian sipeniliti tidak
berangkat dari suatu teori atau hipotesa tertentu yang ingin diuji kebenarannya
di lapangan. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun
terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut
selanjutnya dianalisa atau diinterprestasi dengan menggunakan kerangka teori
tertentu.[5]
F.
Signifikansi Antropologis
dalam Pendekatan Studi Islam
Dengan menggunakan pendekatan antropologis dalam
memahami agama, ternyata banyak diketahui keterkaitan antara agama dan berbagai
hal yang menyangkut manusia. Hal ini banyak diungkapkan oleh Abuddin
Nata, yaitu :
1. Ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan
agama dengan kondisi ekonomi dan politik, yang mana golongan masyarakat yang
kurang mampu atau miskin lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang
bersifat mesianis yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan.
Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan
masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan
pihaknya.
2. Agama
ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu
masyarakat.
3. Agama
mempunyai hubungan dengan mekanisme pengorganisasian dalam masyarakat, seperti
penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geert dalam bukunya The Religion of
Java yang membagi klasifikasi sosial masyarakat Muslim di Jawa menjadi 3 yaitu
santri, priyayi dan abangan.
4. Melalui
pendekatan antropologis fenomenologis terlihat adanya hubungan antara agama dan
negara (state and religion). Seperti terjadi di Indonesia yang penduduknya
mayoritas beragama Islam, tetapi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
5.
Adanya keterkaitan antara agama dengan psikoterapi,
seperti pendapat Segmund Freud yang menghubungkan agama dengan Oedipus Complex,
yakni pengalaman infantil seorang anak yang tidak berdaya di hadapan kekuatan
dan kekuasaan bapaknya.
Jadi
jelas bahwa agama memang banyak berhubungan dengan berbagai masalah kehidupan
manusia dan untuk mengetahui itu semua dibutuhkan pendekatan antropologi.
Termasuk juga dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama
banyak informasi dan uraian yang dapat dijelaskan melalui ilmu antropologi
dengan cabang-cabangnya.[6]
G.
Studi Islam Pendekatan Antropologis di Indonesia
Di Indonesia usaha para Antropolog untuk memahami hubungan
agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The
Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer
sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa.
Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri
dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang
dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun
hubungan antara agama dan politik.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar
religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat
hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan
masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi
ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam
tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas
menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri.
Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis
pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di
dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan
lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan
partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan
perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting
terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori
politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai
salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian
antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang
hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung
secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot
memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat
agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama
dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan
tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama
yang dipraktikkan.
Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan
masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap
kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu
suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat,
menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di era posmodernisme.
Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia
atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi
sangat penting.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka
dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan
antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik,
artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context
yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua
aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu
manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus
mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa
memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai
akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang
melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai
system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia,
adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami
manusia.
Kajian antropologi
juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan
pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah
masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama
dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan
agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan
kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu
gagasan moral dunia berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.[7]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Antropologis
adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan manusia yang diperoleh sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk
memahami dan menginterpretasikan pengalaman dan lingkungan dan mendasari serta
mendorong tingkah lakunya.
Antropologi memerhatikan terbentuknya pola-pola perilaku manusia dalam tatanan
nilai yang dinanti dalam kehidupan
manusia.
Tujuan
antropologi adalah memperoleh pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk, baik
di masa lampau maupun sekarang, baik sebagai organisme biologis maupun sebagai
makhluk berbudaya. Oleh karena itu, para antropolog mengkaji
sifat-sifat khas fisik manusia serta sifat khas budaya yang
dimilikinya. Salah satu konsep terpenting dalam antropologi modern adalah
holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks
dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain
dalam masyarakat yang sedang diteliti.
Pendekatan antropologis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sudut pandang
atau cara melihat (paradigma) memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi
perhatian dengan menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut
sebagai acuan dalam melihat, memperlakukan dan menelitinya.
Pendekatan antropologis
dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama
dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Antropologi, sebagai
sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami
agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk
dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang
holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka
sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama
dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan
bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena
konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan
simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Agama diperuntukkan
untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah
juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa
sesungguhnya realitas manusia menjadi bagian realitas ketuhanan. Di sini
terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian
antropologi, menjadi sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin, M. A. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016,
dari Metode Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam:
http://achwanruhayyun.blogspot.co.id/2011/12/metode-dan-pendekatan-antropologi-dalam.html
Dofri. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari Pendekatan
Antropologis:
http://dofrianam93.blogspot.co.id/2012/08/pendekatan-antropologis.html
Khoiriyah. (2013). Memehami Metodologi Studi Islam.
Yogyakarta: Teras.
Siti Fauziah, L. E. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016,
dari Pendekatan Antropologi:
http://sark2015.blogspot.co.id/2015/11/pendekatan-antropologi.html
Sobaruddin. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari
Makalah Studi Islam Pendekatan Antropogi:
http://indonsc.blogspot.co.id/2015/07/makalah-studi-islam-pendekatan.html
Surikin. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari
Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam :
http://pascasarjanastainkds.blogspot.co.id/2013/10/pendekatan-antropologi-dalam-studi-islam_8948.html
Syahidin. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari Pendekatan
Antropologis dalam Studi Islam:
http://stainatuna.ac.id/index.php/dosen/artikel-dosen/68-pendekatan-antropologis-dalam-studi-islam
[2] M. Achwan Bahrudin, “Metode dan
Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam”, diakses dari http://achwanruhayyun.blogspot.co.id/2011/12/metode-dan-pendekatan-antropologi-dalam.html
pada 14 November 2016 pukul 11.00
[3] Siti Fauziah dan Linda Evirianti,
“Pendekatan Antropologi”, diakases dari http://sark2015.blogspot.co.id/2015/11/pendekatan-antropologi.html pada 14 November 2016 pukul 11.07
[4] Dofri, “Pendekatan Antropologis”,
diakses dari http://dofrianam93.blogspot.co.id/2012/08/pendekatan-antropologis.html pada
14 November 2016 pukul 11.04
[5] Syahidin, “Pendekatan
Antropologis dalam Studi Islam”, diakses dari http://stainatuna.ac.id/index.php/dosen/artikel-dosen/68-pendekatan-antropologis-dalam-studi-islam pada
14 November 2016 pukul 10.55
[6] Surikin, “Pendekatan Antropologi
dalam Studi Islam”, diakses dari http://pascasarjanastainkds.blogspot.co.id/2013/10/pendekatan-antropologi-dalam-studi-islam_8948.html pada
14 November 2016 pukul 10.59
[7] Sobarudin, “Makalah Studi Islam
Pendekatan Antropologi”, diakses dari http://indonsc.blogspot.co.id/2015/07/makalah-studi-islam-pendekatan.html
pada 14 November 2016 pukul 11.05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar