Rabu, 16 November 2016

METODE ILMIAH MODERN:ANTROPOLOGIS

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious atau mystical event. Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan antropologis?
2.      Bagaimana perkembangan kajian dari antropologis?
3.      Bagaimana karakteristik dasar pendekatan antropologis?
4.      Apa saja aliran-aliran dalam pendekatan antropologis?
5.      Bagaimana aplikasi pendekatan antropologis dalam studi islam?
6.      Bagaimana signifikansi antropologis dalam pendekatan studi islam?
7.      Bagaimana studi islam pendekatan antropologis di Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian antropologis
2.      Untuk mengetahui perkembangan kajian dari antropologis
3.      Untuk mengetahui karakteristik dasar pendekatan antropologis
4.      Untuk mengetahui aliran-aliran dalam pendekatan antropologis
5.      Untuk mengetahui aplikasi pendekatan antropologis dalam studi islam
6.      Untuk mengetahui signifikansi antropologis dalam pendekatan studi islam
7.      Untuk mengetahui studi islam pendekatan antropologis di Indonesia


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Antropologis

Antropologi terdiri dari kata Antropos dan Logos. Antropos berarti manusia sedangkan Logos berarti Ilmu. Secara terminologi antropologis adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia yang diperoleh sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman dan lingkungan dan mendasari serta mendorong tingkah lakunya. Antropologi memerhatikan terbentuknya pola-pola perilaku manusia dalam tatanan nilai yang  dinanti dalam kehidupan manusia.
Kebudayaan mencakup tiga aspek yaitu pemikiran kelakuan dan hasil kelakuan. Kebiasaaan manusia pada dasarnya adalah serangkaian aturan-aturan atau kategorisasi-kategorisasi serta nilai-nilai. Kebudayaan bukan hanya ilmu pengetahuan saha, tetapi juga hal-hal yang buruk, bahasa, dan lain sebagainya. Kebudayaan meliputi unsur-unsur, sistem sosial, sistem bahasa dan komunikasi, sestem agama, sistem ekonomi dan teknologi, sistem politik dan hukum. Yang termasuk penelitian budaya adalah penelitian tentang naskah-naskah, alat-alat ritus keagamaan, sejarah agama, nilai-nilai dari mitos-mitos yang dianut pemeluk agama, dan lain sebagainya.
Dalam konteks sebagai metodologi, antropologi merupakan ilmu tentang masyarakat dengan titik tolak dari unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa dan unsur-unsur dan sejarah perkembangannya serta pesebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia dalam masyarakat. Memahami islam berdasarkan hal-hal tersebut di atas. Contohnya adalah dalam memahami kisah atau cerita di dalam kitab suci Al-Qur’an yang dianalisis dengan pendekatan antropologi.[1]
Secara garis besar antropologi –sebagai sebuah ilmu- memiliki cabang-cabang ilmu yang terdiri dari:
1.       Antropologi Fisik
a.       Paleoantropologi, yaitu ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
b.       Somatologi, yaitu ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
2.       Antropologi Sosial-Budaya
a.       Prehistori, yaitu ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.
b.       Etnolinguistik Antropologi, yaitu ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
c.       Etnologi, yaitu ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
d.       Etnopsikologi, yaitu ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.

B.     Perkembangan Kajian Antropologis

Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Menurut Koentjaraninggrat  antropologi sebagai sebuah ilmu mengalami empat fase (tahapan) dalam perkembangannya. Meliputi:
1.      Fase Kesatu : sebelum tahun 1800-an.
Sekitar abad ke-15-16 M, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari AfrikaAmerikaAsia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografiatau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 M perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
2.      Fase Kedua : pertengahan abad 19 M.
Pada fase ini bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Pada fase ini antropologi bertujuan akademis mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
3.      Fase Ketiga : awal abad ke-20 M
Pada fase ini negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
4.      Fase Keempat : setelah tahun 1930-an
Pada fase ini antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa: Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga muncullah semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Menurut David N. Gellner, antropologi bermula pada abad 19 M. Pada abad ini antropologi dimaknai sebagai penelitian –yang difokuskan- pada kajian asal-usul manusia. Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan dalam paradigma evolusi sebagai ide kunci.
Antropologi –masih menurut David N Gellner- juga tertarik untuk mengkaji agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, misalnya  pertanyaan: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembaca-nya pada abad ke 19 M. Antropologi abad 19 M tampak menghasilkan setidaknya dua karya besar tentang kajian agama: The Golden Bough (1890) karya Sir James Frazer dan  The Element Forms of Religious Life (1912) karya Emil Durkheim.[2]

C.    Karakteristik Dasar Pendekatan Antropologis

Antropolgi merupakan ilmu yang mengkaji manusia dan budayanya. Tujuan antropologi adalah memperoleh pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk, baik di masa lampau maupun sekarang, baik sebagai organisme biologis maupun sebagai makhluk berbudaya.  Oleh karena itu, para antropolog mengkaji sifat-sifat khas fisik manusia serta sifat khas budaya yang dimilikinya. Salah satu konsep terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Sebagai contoh, para antropolog harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magik, dan pengobatan “secara bersama-sama”. Maka, agama misalnya tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak berpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.
Pada umumnya, metode pendekatan antropologi memiliki ciri yakni bahwa objek atau subjek-matternya sekelompok manusia yang meliputi seluruh aspek kebudayaannya, jadi agama tidak diteliti secara sendiri, akan tetapi diteliti dalam kaitannya dengan aspek-aspek budaya yang lain dari sekelompok manusia beragama yang dipelajari tersebut. Lebih kongkretnya objek studi antropologi terhadap agama adalah model-model keagamaan atau bagian dari model-model keagamaan dari suatu kelompok manusia. Yang dimaksud dengan model keagamaan misalnya mite, upacara, totem, magik, dan lain-lain. Metode dalam pendekatan antropologi ialah metode deskriptif, komparasi, studi kasus, etnografis, dan survey.
Menggunakan pendekatan antropologi untuk mengkaji agama sebagai konsekuensinya memerlukan konsep kebudayaan, dalam  menerapkan konsep tersebut juga menggunakan prinsip-prinsi ilmiah. Adapun dasar dari pendekatan secara ilmiah mengenai agama ada empat bagian, diantaranya:
1.      Universalitas
Universalitas berarti tanpa mengatakan secara langsung bahwa penghampiran antropologis itu mencangkup keseluruhan agama-agama yang kita ketahui. Bahwa universalitas tidak menolak untuk menerima sesuatu atas dasar “karena pengalaman”, karena “senang beragam”, karena “keturunan” atau semacam pertimbangan-pertimbangan yang tidak ilmiah.
2.      Empirisme
Studi agama dalam antropologi adalah bersifat empiris, karena merupakan hasil riset dari lapangan. Data utama yang dipergunakan untuk menganalisa adalah hasil kumpulan  oleh para antropolog melalui kontak langsung dengan para responden atau para pendukung berbagai macam tradisi kebudayaan.
3.      Komparasi
Melalui komparasi sistematik dari fenomena keagamaan yang serupa. para antropolog sedikit banyak mencoba untuk mencapai generalisasi penuh. Bentuk komparasi juga muncul dalam kaitan yang bersifat historis, serta rentera-remteran evolusi, atau bisa dianggap juga sebagai suatu dasar pengambilan tipologi.
4.      Objektifitas
Di kalangan studi agama secara antropologis menuntut bahwa seorang peneliti harus objektif dan tidak memihak. Sebagai seorang antropolog ia tidak berminat pada masalah kemungkinan benar ataupun palsunya kepercayaan tertentu. Namun ia berminat pada adanya kepercayaan itu serta pentingnya kepercayaan-kepercayaan.
Keempat prinsip-prinsip tersebut setelah dipadukan dengan pendekatan holistik serta penerapan konsep kebudayaan adalah merupakan dasar metode antropologi. Para antropolog menggunakan metode-metode tersebut tidak hanya mengkaji kelompok-kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga dalam banyak hal para antropolog mengalihkan perhatiannya pada salah satu fenomena seperti: bahasa, organisasi pertalian keluarga, ataupun agama. Dengan demikian mereka telah mengembangkan pengkajian yang ada di lapangan. Oleh karena itu, penyelidik atau peneliti agama secara antopologis memberikan pengertian tidak hanya di dalam masalah tabiat pembawaan agama itu sendiri, akan tetapi dalam berbagai macam lembaga-lembaga budaya, dalam tingkah laku manusia, dan pola-pola interaksi serta dalam sejarah manusia. Dalam pengertian lain, penelitian agama dalam pendekatan antropologi bukanlah meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia sebagai perilaku yang menghayati, meyakini, dan menjalankan perintah (berperilaku) terhadap ajaran agama. Penelitian agama dalam pandangan ilmu sosial adalah mengkaji bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial, berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural.
Hilman Hadikusuma berpendapat, untuk menjawab persoalan dalam antropologi agama kita bisa melalui empat macam metode ilmiah. Pertama, metode historis, yakni menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang agamanya yang berlatang belakang sejarah, sejarah perkembangan budaya agama sejak budaya masyarakat manusia masih sederhana sampai budaya agama sudah maju, misalnya: proses bagaimana timbul dan berkembangnya sebuah agama. Kedua, metode normatif, yaitu mempelajari norma-norma (kaidah, patokan, atau sastra kitab suci) maupun yang merupakan perilaku adat kebiasaan tradisional yang masih berlaku, baik dalam hubungan manusia dengan alam gaib maupun dalam hubungan antara sesama manusia yang bersumber dan berdasarkan agama. Ketiga, metode deskriptif, yaitu metode yang berusaha mencatat, menguraikan, melukiskan, dan melaporkan segala sesuatu yang ditemukan di masyarakat berkaitan dengan objek yang diteliti, seperti yang dilakukan oleh para etnografer. Keempat, metode empirik, yakni yang mempelajari pikiran sikap dan perilaku agama manusia yang ditemukan dari lapangan, artinya, memerhatikan segala sesuatu yang dipikirkan, diyakini, dirasakan, dan dikerjakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian metode yang tepat untuk ini adalah dengan wawancara mendalam (in-depth interview), serta observasi parsitipatoris (participant observation).[3]

D.    Aliran-Aliran dalam Pendekatan Antropologis

A.    Aliran Fungsional
Tokoh aliran fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942). Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional. Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan pandangan mereka tentang dunia.
B.     Aliran Historis
Tokoh aliran antropologi histori ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :
a.       Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri.
b.      Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
c.       Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
E.Evans Pritchard berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga berpikir rasional seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus mereka. Disamping itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin menemukan apa yang dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala yang berada di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial.
C.     Aliran Struktural
Tokoh pendekatan antropologi structural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta dipelajari. Sedangkan budaya adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif.[4]

E.     Pendekatan Antropologis dan Aplikasinya dalam Studi Islam

Dalam dunia ilmu pengetahuan, menurut Parsudi Suparlan, makna dari istilah ”pendekatan” adalah sama dengan ”metodologi” yaitu ”sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji“. Adapun yang dimaksud pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat didalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diuangkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Dengan demikian pendekatan antropologis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sudut pandang atau cara melihat (paradigma) memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan dalam melihat, memperlakukan dan menelitinya.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia menjadi bagian realitas ketuhanan. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Dalam pandangan Dawam Raharjo, antropologi dalam hal ini penelitiannya lebih menggunakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Dawam menambahkan penelitian antropologis yang induktif dan gronded, yakni turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya berupaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model matematis, banyak juga memberikan sumbangan kepada penelitian historis.
Dalam aplikasinya, berbagai penelitian antropologi agama dapat dikemukakan hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin yang lain, pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang bersifat menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan orang kaya lebih cendrung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran itu menguntungkan pihaknya.
Penelitian bidang antropologi agama juga dilakukan oleh Clifford Geertz yang hasil penelitiannya yang telah dituliskan dalam sebuah buku yang berjudul The Religion of Java. Arti penting dari karya Geertz ini adalah sumbangan pemikirannya dengan simbol-simbol yaitu bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu.
 Menurut Geertz dalam penelitiannya di Mojokerto kebudayaan Jawa memiliki struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial itu adalah Abangan(berpusat di pedesaan), Santri (berpusat di perdagangan atau pasar), dan Priyai (berpusat di kantor Pemerintahan, di kota). Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi abangan, santri dan priyayi didalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama khususnya Islam dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa kedalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa kedalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Dalam melakukan penelitiannya Geertz menggunakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan (servey) dan penelitian Grounded research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Dengan demikian sipeniliti tidak berangkat dari suatu teori atau hipotesa tertentu yang ingin diuji kebenarannya di lapangan. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya dianalisa atau diinterprestasi dengan menggunakan kerangka teori tertentu.[5]

F.     Signifikansi Antropologis  dalam Pendekatan Studi Islam

Dengan menggunakan pendekatan antropologis dalam memahami agama, ternyata banyak diketahui keterkaitan antara agama dan berbagai hal yang menyangkut manusia. Hal ini banyak diungkapkan oleh Abuddin Nata, yaitu :
1.      Ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik, yang mana golongan masyarakat yang kurang mampu atau miskin lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
2.       Agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
3.       Agama mempunyai hubungan dengan mekanisme pengorganisasian dalam masyarakat, seperti penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geert dalam bukunya The Religion of Java yang membagi klasifikasi sosial masyarakat Muslim di Jawa menjadi 3 yaitu santri, priyayi dan abangan.
4.       Melalui pendekatan antropologis fenomenologis terlihat adanya hubungan antara agama dan negara (state and religion). Seperti terjadi di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
5.       Adanya keterkaitan antara agama dengan psikoterapi, seperti pendapat Segmund Freud yang menghubungkan agama dengan Oedipus Complex, yakni pengalaman infantil seorang anak yang tidak berdaya di hadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya.
Jadi jelas bahwa agama memang banyak berhubungan dengan berbagai masalah kehidupan manusia dan untuk mengetahui itu semua dibutuhkan pendekatan antropologi. Termasuk juga dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama banyak informasi dan uraian yang dapat dijelaskan melalui ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[6]

G.    Studi Islam Pendekatan Antropologis di Indonesia

Di Indonesia usaha para Antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri.
Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia  berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.[7]

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Antropologis adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia yang diperoleh sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman dan lingkungan dan mendasari serta mendorong tingkah lakunya. Antropologi memerhatikan terbentuknya pola-pola perilaku manusia dalam tatanan nilai yang  dinanti dalam kehidupan manusia.
Tujuan antropologi adalah memperoleh pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk, baik di masa lampau maupun sekarang, baik sebagai organisme biologis maupun sebagai makhluk berbudaya.  Oleh karena itu, para antropolog mengkaji sifat-sifat khas fisik manusia serta sifat khas budaya yang dimilikinya. Salah satu konsep terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti.
Pendekatan antropologis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sudut pandang atau cara melihat (paradigma) memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan dalam melihat, memperlakukan dan menelitinya.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia menjadi bagian realitas ketuhanan. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.




















DAFTAR PUSTAKA

 

Bahrudin, M. A. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari Metode Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam: http://achwanruhayyun.blogspot.co.id/2011/12/metode-dan-pendekatan-antropologi-dalam.html
Dofri. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari Pendekatan Antropologis: http://dofrianam93.blogspot.co.id/2012/08/pendekatan-antropologis.html
Khoiriyah. (2013). Memehami Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Teras.
Siti Fauziah, L. E. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari Pendekatan Antropologi: http://sark2015.blogspot.co.id/2015/11/pendekatan-antropologi.html
Sobaruddin. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari Makalah Studi Islam Pendekatan Antropogi: http://indonsc.blogspot.co.id/2015/07/makalah-studi-islam-pendekatan.html
Surikin. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam : http://pascasarjanastainkds.blogspot.co.id/2013/10/pendekatan-antropologi-dalam-studi-islam_8948.html
Syahidin. (t.thn.). Dipetik November 14, 2016, dari Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam: http://stainatuna.ac.id/index.php/dosen/artikel-dosen/68-pendekatan-antropologis-dalam-studi-islam







[1] Khoiriyah,  “Memahami Metodologi Studi Islam”, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 90-91.
[2] M. Achwan Bahrudin, “Metode dan Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam”, diakses dari http://achwanruhayyun.blogspot.co.id/2011/12/metode-dan-pendekatan-antropologi-dalam.html pada 14 November 2016 pukul 11.00

[3] Siti Fauziah dan Linda Evirianti, “Pendekatan Antropologi”, diakases dari http://sark2015.blogspot.co.id/2015/11/pendekatan-antropologi.html pada 14 November 2016 pukul 11.07
[4] Dofri, “Pendekatan Antropologis”, diakses dari http://dofrianam93.blogspot.co.id/2012/08/pendekatan-antropologis.html pada 14 November 2016 pukul 11.04

[5] Syahidin, “Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam”, diakses dari http://stainatuna.ac.id/index.php/dosen/artikel-dosen/68-pendekatan-antropologis-dalam-studi-islam pada 14 November 2016 pukul 10.55
[6] Surikin, “Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam”, diakses dari http://pascasarjanastainkds.blogspot.co.id/2013/10/pendekatan-antropologi-dalam-studi-islam_8948.html pada 14 November 2016 pukul 10.59
[7] Sobarudin, “Makalah Studi Islam Pendekatan Antropologi”, diakses dari http://indonsc.blogspot.co.id/2015/07/makalah-studi-islam-pendekatan.html pada 14 November 2016 pukul 11.05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar