H
|
ari ini adalah pengumuman bahwa besok akan ada
kegiatan SCS di sekolahku. Aku dan Randy telah sepakat akan membawa baju ganti
berwarna biru muda, warna favoritnya. Semakin hari kami semakinn dekat. Ia
lebih sering menghubungiku sekalipun ia hanya menanyakan hal yang tidak
penting. Jika tidak salah kali ini, ia hanya ingin tau apa yang sedang aku
lakukan, ia hanya ingin tau bagaimana kabarku. Pada awalnya ia bertanya padaku
perihal apa warna yang paling aku sukai. Aku tak buru-buru menjawabnya. Aku
berbalik bertanya padanya apa warna yang paling ia sukai. Ternyata warna biru
mudalah warna yang ia sukai.
“sama
dong!!” Jawabku semangat sekali.
Kemudian ia mengajakku untuk membawa baju berwarna
biru muda keesokan harinya. Aku tersadar aku tidak punya baju berwarna biru
muda. Seketika itu aku menghampiri Laila yang berada tidak jauh dari tempatku
duduk. Aku biasa pulang sekolah bersamanya karena kebetulan rumah kami searah.
Aku meminta Laila untuk menemaniku membeli baju berwarna biru muda ketika
pulang nanti.
Entah
karena apa akhir-akhir ini aku selalu memerhatikannya dari kejauhan.
Memerhatikan saat dia sedang berbicara dengan teman-temannya, saat dia sedang
bermain voly, saat dia berjalan, aaah semua yang dia lakukan selalu menarik
perhatianku. Apalagi hari ini, saat keluar dari kelas mataku tak bisa berkedip
begitu aku melihat Randy sedang bermain basket di lapangan basket depan
kelasku.
Gayanya mengayun
bola bundar berwarna orange tua itu sangat membuatku terkagum-kagum. Senyumku
mengambang diujung bibirku melihatnya. Tak disangka ternyata sedari tadi Mery
memerhatikanku dari belakang kemudian mengagetiku sampai nafasku agak tersengal
kareananya. Dia terus saja menggodaku hingga aku tak kuasa menahan tawaku. Mery
adalah teman sekelasku yang bisa dibilang ia orang yang amat jahil. Ia paling
peka terhadap hal-hal yang berbau romantisme. Bak peramal handal ia tau sekecil
apapun guratan suka dalam wajahku.
Gema adzan
Ashar telah terdengar dari masjid dekat sekolahku. Kami semua bersiap-siap
menata ransel ke dalam asrama sekolah yang biasa kami sebut bungur. Banyak
mitos yang mewarnai keberadaan bungur tersebut. Mulai dari ruangan yang tak
pernah di buka karena menurut penuturan bapak penjaga di sekolah kami tempat
itu adalah tempat di mana dahulu ada seorang wanita yang bunuh diri dengan cara
menggantungkan tubuhnya. Hingga saat ini ruangan itu tidak pernah ada yang
membukanya, tepatnya tidak ada yang berani. Ruangan itu dibiarkan kosong dengan
satu lampu kuning yang menggantung di atap, selalu dinyalakan walaupun tidak
pernah di tempati.
Mitos menakutkan
di sekolahku memang tak pernah usai. Hampir disetiap sudutnya merupakan tempat
yang menyeramkan. Pernah seketika di kelasku ada yang melihat sesosok wanita
memakai seragam sekolah persis sepertiku. Temanku Firman yang kala itu
berangkat lebih awal dari yang lainnya menyapanya dari luar kelas karena ia
mengira bahwa itu adalah salah satu temanku Ismi. Namun setelah ia masuk ke
dalam kelas sosok gadis itu sudah menghilang tanpa bekas apapun. Pernah pula
aku sendiri yang melihat dengan mata kepalaku sesosok laki-laki memakai baju
putih berlari sangat kencang melewati deretan ruangan belakang aula tepat saat
adzan maghrib.
Tidak
hanya itu, sempat pula ada sesosok makhluk yang memasuki tubuh salah satu adik
kelasku. Ia hanya diam membuat seisi ruangan merasa takut karenanya. Beruntung
ia hanya sebatas dirasuki, karena yang aku tahu apabila sosok yang masuk adalah
sosok roh jahat yangs sedang membalas dendam maka ia tak akan segan untuk
membuat orang yang dirasukinya celaka.
Godaan Mery
tak hanya sampai di sini. Ketika dia bertemu dengan Randy di tempat wudhu dia
frontal berkata pada Randy.
“Randy, kata Anita waktu basket tadi kamu kereeen
banget…” tawanya meledak di telingaku.
“Mery…!!!” Teriakku malu.
Randy
melihatku sambil tersenyum. Secepat mungkin aku berlari menghindari tatapan
Randy dan meninggalkan mereka berdua dengan wajah merah merona menahan rasa
malu yang teramat menghujat.
Paginya
kami melakukan tes di sekolah. Setelah itu kami bergerombol membahas soal yang
baru saja kami kerjakan. Kami begitu
antusias ingin mengetahui titik kesalahan pekerjaan kami.
Viko. Dia
anak paling jahil yang pernah aku kenal. Dia adalah siswa kelas 3D. Dia
mengambil jaketku dan menaruhnya pada tiang depan ruang kurikulum. Tiang itu
tinggi sekali segingga aku tak dapat meraih jaketku. Aku marah sekali dengan
kelakuannya. Aku memukulinya sampai dia bersedia mengambil jaketku yang telah
tergantung di tiang itu. Berkali-kali ia menghindar sampai kami berlari-larian
dari ujung ke ujung deretan ruangan
kelas. Aku lelah. Ku diamkan Viko yang sedari tadi masih cengar-cengir di
depanku. Ku tinggalkan dia dan pada akhirnya ia bersedia mengambil jaketku yang
tergantung kemudian mengembalikannya padaku yang sudah berada di dalam kelas.
Tidak lama
kemudian Bu Eny dan beberapa guru lain keluar dari ruang kurikulum. Mereka
masuk ke dalam kelas-kelas menempelkan hasil tes tadi pagi. Semua siswa masuk
untuk melihat hasil pekerjaan mereka.
Setelah
cukup puas melihat nilaiku dan keadaan sekolah telah mulai sepi aku di temani
beberapa temanku menghampiri Randy di kelasnya. Aku melihat Randy masih di
kelas dengan temannya Jonatan. Aku penasaran sekali dengan hasil pekerjaan
milik Randy. Saat aku melihat nilai yang di tempelkan di kelas itu, Jonatan
yang tadi hanya duduk diam tiba-tiba dengan sigap berdiri di depanku. Dia
memegang tanganku mencoba menghalangi pandanganku. Dia tidak ingin aku melihat
nilainya. Kebetulan saat itu Jonatan juga sedang berusaha mendekatiku. Melihat
kejadian itu Randy berdiri, namun hanya diam melihat. Dengan jengkel aku
mencoba berontak dari genggamannya.
Aku terus
bergerak dan kemudian dia menyodorkan mukanya tepat di depan mukaku. Aku segera
berpaling menghindarinya. Seketika Randy yang berada tepat di samping temanku
langsung keluar dengan muka geram. Dia tidak menyapa siapapun yang ada di sana,
termasuk aku. Jonatan melepaskan tanganku dan aku pun seketika keluar menyusul Randy,
namun aku tak mendapatinya di sekitar kelas. Dia telah berlari sampai di
gerbang depan sekolah. Sejak saat itu Randy tidak pernah menghubungiku lagi.
Aku mulai merasakan ketidakberadaannya di dekatku.
Sudah dua
hari ini aku tidak bertemu dengan Randy. Ia tidak pernah lagi bermain di kelas
kami. Ketidakhadirannya di depan mataku membuatku seakan-akan kehilangan gairah
sama sekali. Dia seperti air yang menyirami kegersangan hidupku. Aku tak tahu,
mengapa semangat dan kegairahan hidupku menjadi menggebu bila Randy berada di
sampingku. Padahal apalah arti dirinya yang bukan siapapun bagian dariku.
Keresahan hatiku terbawa ke sekolah. Aku yang biasanya lincah dan ceria, hari
ini terlihat murung dan lebih banyak melamun daripada mendengarkan pelajaran-pelajaran
yang diberikan oleh guruku.
Semenjak
kejadian itu aku tidak berani mengarahkan muka ke arah kelas Randy. Saat pergi
ke kantin pun aku sengaja memalingkan mukaku. Entah apa yang aku rasakan, tapi
aku merasa takut. Bagaimana Randy akan memandangku setelah kejadian itu? Sekali
aku menangis di dalam kelas saat aku bercerita kepada Laila. Ia adalah teman
yang bisa aku jadikan tempat bersandar apapun masalahku. Ia mencoba
menenangkanku dengan caranya yang lembut. Ia menasehatiku banyak hal tentang
Randy. Ia paling tidak suka melihatku menangis hanya karena seorang laki-laki.
Sejak saat itulah Laila merasa benci pada Randy, namun kebenciannya tidak ia
perlihatkan sama sekali. Ia hanya menunjukkannya di depanku. Ya, hanya di
depanku. Ia merasa jika kebencian itu diperlihatkan pada orang-0rang, ia
seperti tak punya alasan yang kuat, karena pada kenyataannya aku sangat
menyukai Randy. Fakta bahwa aku menyuakinya itulah yang membuat Laila juga
mencoba menepis kebenciannya pada Randy.
Randy
ternyata orang yang peduli. Terbukti ia ternyata memperhatikanku dari kejauhan.
Ia tahu kalau aku baru saja menangis. Mataku sedikit sembab, hanya sedikit.
Tapi, ia tahu kalau itu bukan mataku yang seperti biasanya. Ketika sampai di
rumah, ia mengirimkan pesan singkat kepadaku. Aku tersentak, perasaanku
bercampur. Aku merasa sedih namun seketika itu aku merasa bahagia. Dia
menghubungiku lagi. Apa yang ia akan katakan padaku? Itulah yang aku pikirkan
saat pertama kali mengetahui ada notifikasi di handphoneku bahwa Randy menghubungiku
lagi. Aku buka notifikasi itu dengan perasaan bahagia, ternyata ia menanyakan
perihal mengapa aku terlihat tak seperti biasanya, mengapa saat ia melihatku
tadi siang mataku sedikit sembab, dan terakhir yang membuatku sedikit
berkecamuk adalah pertanyaan Randy perihal mengapa aku seolah-olah
menghindarinya dua hari ini. Aku merasa Randy benar-benar menyita pikiranku.
Sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan terhadapku? Mungkinkah ia juga
menyukaiku seperti aku menyukainya?
Kubalas
pesan singkat yang dikirimkan Randy terhadapku. Aku bilang padanya bahwa aku
tidak apa-apa dan aku juga mengelak kenyataan bahwa memang aku menghindarinya
dua hari ini. Kata-kata klise yang aku kirimkan padanya. Aku hanya tidak ingin
Randy berpikir yang tidak-tidak. Perihal Jonatan dan perihal mengapa ia pergi
begitu saja juga aku tanyakan padanya. Ia menjelaskanku banyak hal dan aku
mengerti. Sama halnya ia mengerti apa yang aku jelaskan padanya. Sejak saat itu
kesalahpahaman di antara kami mereada. Kami mulai melewati hari seperti biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar