Minggu, 13 November 2016

Hanya Ada Satu Alasan #Bagian 4

H
ari ini adalah pengumuman bahwa besok akan ada kegiatan SCS di sekolahku. Aku dan Randy telah sepakat akan membawa baju ganti berwarna biru muda, warna favoritnya. Semakin hari kami semakinn dekat. Ia lebih sering menghubungiku sekalipun ia hanya menanyakan hal yang tidak penting. Jika tidak salah kali ini, ia hanya ingin tau apa yang sedang aku lakukan, ia hanya ingin tau bagaimana kabarku. Pada awalnya ia bertanya padaku perihal apa warna yang paling aku sukai. Aku tak buru-buru menjawabnya. Aku berbalik bertanya padanya apa warna yang paling ia sukai. Ternyata warna biru mudalah warna yang ia sukai.
       “sama dong!!” Jawabku semangat sekali.
Kemudian ia mengajakku untuk membawa baju berwarna biru muda keesokan harinya. Aku tersadar aku tidak punya baju berwarna biru muda. Seketika itu aku menghampiri Laila yang berada tidak jauh dari tempatku duduk. Aku biasa pulang sekolah bersamanya karena kebetulan rumah kami searah. Aku meminta Laila untuk menemaniku membeli baju berwarna biru muda ketika pulang nanti.
       Entah karena apa akhir-akhir ini aku selalu memerhatikannya dari kejauhan. Memerhatikan saat dia sedang berbicara dengan teman-temannya, saat dia sedang bermain voly, saat dia berjalan, aaah semua yang dia lakukan selalu menarik perhatianku. Apalagi hari ini, saat keluar dari kelas mataku tak bisa berkedip begitu aku melihat Randy sedang bermain basket di lapangan basket depan kelasku.
       Gayanya mengayun bola bundar berwarna orange tua itu sangat membuatku terkagum-kagum. Senyumku mengambang diujung bibirku melihatnya. Tak disangka ternyata sedari tadi Mery memerhatikanku dari belakang kemudian mengagetiku sampai nafasku agak tersengal kareananya. Dia terus saja menggodaku hingga aku tak kuasa menahan tawaku. Mery adalah teman sekelasku yang bisa dibilang ia orang yang amat jahil. Ia paling peka terhadap hal-hal yang berbau romantisme. Bak peramal handal ia tau sekecil apapun guratan suka dalam wajahku.
       Gema adzan Ashar telah terdengar dari masjid dekat sekolahku. Kami semua bersiap-siap menata ransel ke dalam asrama sekolah yang biasa kami sebut bungur. Banyak mitos yang mewarnai keberadaan bungur tersebut. Mulai dari ruangan yang tak pernah di buka karena menurut penuturan bapak penjaga di sekolah kami tempat itu adalah tempat di mana dahulu ada seorang wanita yang bunuh diri dengan cara menggantungkan tubuhnya. Hingga saat ini ruangan itu tidak pernah ada yang membukanya, tepatnya tidak ada yang berani. Ruangan itu dibiarkan kosong dengan satu lampu kuning yang menggantung di atap, selalu dinyalakan walaupun tidak pernah di tempati.
       Mitos menakutkan di sekolahku memang tak pernah usai. Hampir disetiap sudutnya merupakan tempat yang menyeramkan. Pernah seketika di kelasku ada yang melihat sesosok wanita memakai seragam sekolah persis sepertiku. Temanku Firman yang kala itu berangkat lebih awal dari yang lainnya menyapanya dari luar kelas karena ia mengira bahwa itu adalah salah satu temanku Ismi. Namun setelah ia masuk ke dalam kelas sosok gadis itu sudah menghilang tanpa bekas apapun. Pernah pula aku sendiri yang melihat dengan mata kepalaku sesosok laki-laki memakai baju putih berlari sangat kencang melewati deretan ruangan belakang aula tepat saat adzan maghrib.
       Tidak hanya itu, sempat pula ada sesosok makhluk yang memasuki tubuh salah satu adik kelasku. Ia hanya diam membuat seisi ruangan merasa takut karenanya. Beruntung ia hanya sebatas dirasuki, karena yang aku tahu apabila sosok yang masuk adalah sosok roh jahat yangs sedang membalas dendam maka ia tak akan segan untuk membuat orang yang dirasukinya celaka.
       Godaan Mery tak hanya sampai di sini. Ketika dia bertemu dengan Randy di tempat wudhu dia frontal berkata pada Randy.
“Randy, kata Anita waktu basket tadi kamu kereeen banget…” tawanya meledak di telingaku.
“Mery…!!!” Teriakku malu.
       Randy melihatku sambil tersenyum. Secepat mungkin aku berlari menghindari tatapan Randy dan meninggalkan mereka berdua dengan wajah merah merona menahan rasa malu yang teramat menghujat.
       Paginya kami melakukan tes di sekolah. Setelah itu kami bergerombol membahas soal yang baru saja kami  kerjakan. Kami begitu antusias ingin mengetahui titik kesalahan pekerjaan kami.
       Viko. Dia anak paling jahil yang pernah aku kenal. Dia adalah siswa kelas 3D. Dia mengambil jaketku dan menaruhnya pada tiang depan ruang kurikulum. Tiang itu tinggi sekali segingga aku tak dapat meraih jaketku. Aku marah sekali dengan kelakuannya. Aku memukulinya sampai dia bersedia mengambil jaketku yang telah tergantung di tiang itu. Berkali-kali ia menghindar sampai kami berlari-larian dari ujung ke ujung  deretan ruangan kelas. Aku lelah. Ku diamkan Viko yang sedari tadi masih cengar-cengir di depanku. Ku tinggalkan dia dan pada akhirnya ia bersedia mengambil jaketku yang tergantung kemudian mengembalikannya padaku yang sudah berada di dalam kelas.
       Tidak lama kemudian Bu Eny dan beberapa guru lain keluar dari ruang kurikulum. Mereka masuk ke dalam kelas-kelas menempelkan hasil tes tadi pagi. Semua siswa masuk untuk melihat hasil pekerjaan mereka.
       Setelah cukup puas melihat nilaiku dan keadaan sekolah telah mulai sepi aku di temani beberapa temanku menghampiri Randy di kelasnya. Aku melihat Randy masih di kelas dengan temannya Jonatan. Aku penasaran sekali dengan hasil pekerjaan milik Randy. Saat aku melihat nilai yang di tempelkan di kelas itu, Jonatan yang tadi hanya duduk diam tiba-tiba dengan sigap berdiri di depanku. Dia memegang tanganku mencoba menghalangi pandanganku. Dia tidak ingin aku melihat nilainya. Kebetulan saat itu Jonatan juga sedang berusaha mendekatiku. Melihat kejadian itu Randy berdiri, namun hanya diam melihat. Dengan jengkel aku mencoba berontak dari genggamannya.
       Aku terus bergerak dan kemudian dia menyodorkan mukanya tepat di depan mukaku. Aku segera berpaling menghindarinya. Seketika Randy yang berada tepat di samping temanku langsung keluar dengan muka geram. Dia tidak menyapa siapapun yang ada di sana, termasuk aku. Jonatan melepaskan tanganku dan aku pun seketika keluar menyusul Randy, namun aku tak mendapatinya di sekitar kelas. Dia telah berlari sampai di gerbang depan sekolah. Sejak saat itu Randy tidak pernah menghubungiku lagi. Aku mulai merasakan ketidakberadaannya di dekatku.
       Sudah dua hari ini aku tidak bertemu dengan Randy. Ia tidak pernah lagi bermain di kelas kami. Ketidakhadirannya di depan mataku membuatku seakan-akan kehilangan gairah sama sekali. Dia seperti air yang menyirami kegersangan hidupku. Aku tak tahu, mengapa semangat dan kegairahan hidupku menjadi menggebu bila Randy berada di sampingku. Padahal apalah arti dirinya yang bukan siapapun bagian dariku. Keresahan hatiku terbawa ke sekolah. Aku yang biasanya lincah dan ceria, hari ini terlihat murung dan lebih banyak melamun daripada mendengarkan pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh guruku.
       Semenjak kejadian itu aku tidak berani mengarahkan muka ke arah kelas Randy. Saat pergi ke kantin pun aku sengaja memalingkan mukaku. Entah apa yang aku rasakan, tapi aku merasa takut. Bagaimana Randy akan memandangku setelah kejadian itu? Sekali aku menangis di dalam kelas saat aku bercerita kepada Laila. Ia adalah teman yang bisa aku jadikan tempat bersandar apapun masalahku. Ia mencoba menenangkanku dengan caranya yang lembut. Ia menasehatiku banyak hal tentang Randy. Ia paling tidak suka melihatku menangis hanya karena seorang laki-laki. Sejak saat itulah Laila merasa benci pada Randy, namun kebenciannya tidak ia perlihatkan sama sekali. Ia hanya menunjukkannya di depanku. Ya, hanya di depanku. Ia merasa jika kebencian itu diperlihatkan pada orang-0rang, ia seperti tak punya alasan yang kuat, karena pada kenyataannya aku sangat menyukai Randy. Fakta bahwa aku menyuakinya itulah yang membuat Laila juga mencoba menepis kebenciannya pada Randy.
       Randy ternyata orang yang peduli. Terbukti ia ternyata memperhatikanku dari kejauhan. Ia tahu kalau aku baru saja menangis. Mataku sedikit sembab, hanya sedikit. Tapi, ia tahu kalau itu bukan mataku yang seperti biasanya. Ketika sampai di rumah, ia mengirimkan pesan singkat kepadaku. Aku tersentak, perasaanku bercampur. Aku merasa sedih namun seketika itu aku merasa bahagia. Dia menghubungiku lagi. Apa yang ia akan katakan padaku? Itulah yang aku pikirkan saat pertama kali mengetahui ada notifikasi di handphoneku bahwa Randy menghubungiku lagi. Aku buka notifikasi itu dengan perasaan bahagia, ternyata ia menanyakan perihal mengapa aku terlihat tak seperti biasanya, mengapa saat ia melihatku tadi siang mataku sedikit sembab, dan terakhir yang membuatku sedikit berkecamuk adalah pertanyaan Randy perihal mengapa aku seolah-olah menghindarinya dua hari ini. Aku merasa Randy benar-benar menyita pikiranku. Sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan terhadapku? Mungkinkah ia juga menyukaiku seperti aku menyukainya?
       Kubalas pesan singkat yang dikirimkan Randy terhadapku. Aku bilang padanya bahwa aku tidak apa-apa dan aku juga mengelak kenyataan bahwa memang aku menghindarinya dua hari ini. Kata-kata klise yang aku kirimkan padanya. Aku hanya tidak ingin Randy berpikir yang tidak-tidak. Perihal Jonatan dan perihal mengapa ia pergi begitu saja juga aku tanyakan padanya. Ia menjelaskanku banyak hal dan aku mengerti. Sama halnya ia mengerti apa yang aku jelaskan padanya. Sejak saat itu kesalahpahaman di antara kami mereada. Kami mulai melewati hari seperti biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar