Rabu, 09 November 2016

Hanya Ada Satu Alasan #Bagian 3

“Assalamualaikum…”
Sapaku pada ibuku seraya mencium tangannya. Aku biasa berangkat sekolah pagi-pagi. Aku harus berjalan sekitar 100 meter untuk sampai ke pasar. Di sanalah tempat aku menunggu angkutan umum yang hendak membawaku sampai ke sekolah setiap paginya. Jarak antara rumah dan sekolahku memang jauh, sekitar tujuh kilometer jauhnya. Oleh karena itu, aku harus berangkat pagi-pagi sekali, karena jika aku berangkat agak siang tidak ada angkutan umum yang masuk di desaku. Mereka biasanya hanya membawa orang-orang dari kota yang hendak menuju pasar tradisional di desaku.  
       Tepat pukul 6.45 pagi aku sampai di sekolah. Aku melihat Indah dan Risma telah menunggu di depan kelas. Mereka adalah teman sepermainanku di sekolah ini. Tidak hanya mereka, masih ada Laila, Tika, Azka, dan Intan. Kami bertujuh selalu kompak dalam segala hal. Meskipun kami berbeda-beda kelas, namun tidak ada kata tidak untuk selalu bersama. Entah siapa yang menghampiri siapa. Aku sangat menyayangi mereka, mereka adalah teman susah dan senangku. Aku menyapa mereka kemudian duduk di sela-sela keduanya. Bel panjang tanda KBM akan dimulai telah berbunyi. Hari ini tidak ada KBM bagi kelas 3.  Kemudian aku masuk ke kelas, suasana dalam kelas sudah ramai sekali. Seluruh bangku telah ditempati, hanya tinggal aku yang sedari tadi masih duduk di luar kelas. Kulihat temanku Laila sedang duduk di bangku sampingku. Aku meminta tolong padanya untuk membantuku mengucir sebagian rambutku. Setelah selesai dan rambutku telah rapi, kami keluar dari kelas. Dari kejauhan aku melihat Angga atau biasa kami panggil Kuntet berlari ke arahku. Tubuhnya kecil dan tidak begitu tinggi, itulah sebabnya kami memanggilnya kuntet yang artinya kecil.
       Dia meloncat menarik rambutku dan melepaskan ikatannya. Dia tak suka bila sebagian rambutku aku ikat. Aku sedikit jengkel padanya, namun sikapnya yang humor telah menghilangkan kemarahanku. Sesaat dia pergi dan kemudian aku bersama keenam temanku kembali berbincang-bincang di depan kelas sambil melihat Adam dan beberapa orang lain bermain gitar. Ya, Adam adalah siswa kelas lain yang pandai bermain musik. Selain itu ia juga pandai menari. Salah satu kegiatan di luar sekolah yang ia ikuti adalah kegiatan dance. Tak jarang pula ia tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar karena mengikuti audisi dancer. Namun yang aku tahu, ia selalu mendapat gelar juara dalam setiap perlombaan yang ia ikuti.
       Tidak lama kemudian datang anak laki-laki yang kemarin berbicara dengan Intan. Dia baru saja keluar dari kelasnya. Dia berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, terlihat sangat tampan dengan bulu mata lentiknya yang sedang mencoba mencuri-curi pandang denganku. Sempat beberapa kali aku melihatnya  sedang melihatku. Aku berbisik pada teman sebelahku Laila. Aku bertanya padanya mengapa laki-laki itu mencuri-curi pandang denganku?
       Sejak saat itu aku mulai penasaran dengannya. Semua temanku ternyata telah mengenalnya. Mereka kini lebih sering mengobrol dengan anak itu, dan hanya aku yang kala itu sama sekali tidak mengenalinya. Karena memang selama ini aku tidak pernah melihat teman-temanku berbicara padanya. Mereka terlihat dekat sejak beberapa hari yang lalu. Perasaanku untuk lebih jauh mengenalnya ternyata tidak sampai di sini. Aku selalu diam mendengarkan ketika mereka sedang memanggil namanya. Tak berapa lama setelah aku mengetahui keakraban sosok laki-laki itu dengan teman-temanku, aku mengetahui namanya melalui Adam ketika sedang memanggilnya. Ya, ternyata dia bernama Randy.
       Intan menarik lenganku, mengajakku pergi ke kantin sekolah. Aku sedikit kaget, jalanku pun agak tertatih. Aku dan Intan memilih beberapa makanan ringan. Aku sejenak terdiam ketika melihat laki-laki yang sedang berada di depanku, ya  dia Randy. Kami memandang satu sama lain sejenak dengan senyum teduh. Menghindari kegelagapanku, aku mengambil uang di saku bajuku dan membayar makanan ringan yang aku beli. Jantungku berdegup kencang. 
“Duuk!”
Jidatku terbentur tiang bendera. Anak-anak yang melihat kejadian itu tak henti-hentinya tertawa. Tak sedikit yang sampai meringis menahan perutnya yang sebah. Dengan wajah merah merona ku pegang jidatku yang agak benjol. Malu sekali aku kala itu.
“Kamu kenapa sih dari tadi nglamun terus, rasain tuh!”, ejek Intan sembari mendorongku. Tawanya semakin menjadi. Kejadian yang memalukan!
       Pelajaran untuk hari ini telah usai. Semua anak kelas 1 dan 2 bersiap pulang dengan riangnya. Kini tinggal kami anak kelas 3 yang tetap tinggal di sekolah. Seperti biasa, setelah KBM  kami akan mengerjakan tes uji kemantapan Ujian Nasional bersama guru-guru pembimbing yang bersangkutan. Sungguh hari yang melelahkan dan tidak sedikitpun menyenangkan. Aku tidak begitu terbiasa dengan makan siang di sekolah dan melewati hari tanpa tidur siang, bahkan setiap siang aku harus melewatkan acara televisi favoritku. Mungkin di sinilah awal dari kesuksesanku nanti. Jika aku berhasil bersikap disiplin maka aku  juga akan menuai hasil yang baik ketika ujian.
       Siang yang sangat terik saat aku dan teman-temanku sedang berbincang-bincang di dalam kelas 3A. Tiba-tiba Ratna siswi 3B masuk dan bertanya pada kami.
“Siapa di antara kalian yang di taksir sama Randy?”
       Semua temanku bingung. Frontal mereka menjawab ketidaktahuan mereka. Saat itu aku hanya berpikir apa maksud dari pertanyaan Ratna. Aku melamun beberapa waktu dan kembali tersadar oleh celotehan teman-temanku.
       Tak berapa lama kemudian gema adzan yang dilantunkan salah seorang siswa di mushola sekolah kami telah terdengar nyaring. Tidak menyia-nyiakan waktu kami pun segera mengambil air wudhu dan menunaikan sholat dhuhur berjamaah bersama Bapak Hari guru agama islam kami. Selesai sholat aku berdo’a dengan khusyu’, memohon kepada Allah SWT agar aku diberikan kelancaran dalam mengerjakan tes siang nanti.
       Bel tanda tes siang akan dimulai telah berbunyi. Aku segera merapikan mukenaku dan bersiap-siap masuk ke dalam ruangan yang telah diatur tempat duduknya. Aku duduk di bangku kedua deret terakhir. Pengawas telah siap di ruanganku. Kali ini hanya ada satu yang mengawasi. Walaupun begitu kami semua tetap mengerjakan dengan kemampuan masing-masing. Tidak ada diantara kami yang menyontek jawaban teman atau yang lain. Semua diam dan fokus, termasuk juga aku. Aku mengerjakan tanpa ada kendala yang berarti. Syukurlah semua berjalan dengan lancar. Usai tes siang, sambil menunggu hasil tes, aku dan keenam temanku bermain di kelas 3B. Suasananya begitu ramai. Kita berkumpul dan bercanda bersama, sampai akhirnya Azka mengajakku untuk membeli beberapa makanan di kantin sekolah. Baru saja beberapa langkah kaki terayun, Itsna menghentikan langkahnya membelok ke segerombolan anak laki-laki yang juga sedang berkumpul di kelas itu, ternyata di sana ada Randy yang sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya.
       Lama sekali ia mencoba merajuk pada Randy untuk dibelikan makanan ringan di kantin. Randy keluar dan mereka berdua berlarian di sepanjang teras kelas. Aku berjalan santai mengikuti mereka, sampai akhirnya Randy masuk ke kelasnya, 3E. Namun tangan Azka begitu cepat meraih baju Randy dan menariknya hingga keluar dari celana.  Randy terus saja mengelak untuk membelikan makanan ringan, mungkin karena konyol dia bilang “Ini lho minta wakilku!”. Dengan jari telunjuk yang tak lain mengarah ke mukaku. Sontak aku kaget. “Loh kok aku?” jawabku dan langsung berlari kembali ke kelas 3B menemui teman-temanku. Azka kesal dan menyusulku dari belakang. Mukanya sangat kusam menahan kekecewaan.
       Beberapa saat kemudian terdengar suara yang bersumber dari kurikulum memberitahukan siapa saja yang tidak boleh pulang terlebih dahulu karena harus mengerjakan remidiasi. Seluruh siswa diam mendengarkan.
“Horeeeee!!”
       Teriakku lantang bersama teman-temanku. Lonceng panjang telah berbunyi, menandakan latihan sore ini telah usai kecuali mereka yang harus mengerjakan remidiasi terlebih dahulu. Terjadi kegaduhan dan kesemprawutan tatkala anak-anak keluar dari kelasnya masing-masing. Aku baru saja membereskan beberapa bukuku dan aku masukkan ke dalam ransel. Ketiga temanku telah menunggu dengan perasaan tidak sabar.
“Cepatlah sedikit Ta..”, pinta mereka.
“Sabar dong tinggal satu buku lagi nih…” , jawabku singkat.
       Sore itu aku langsung pulang karena lelah lebih dari 9 jam berada di sekolah. Aku naik angkutan umum bersama Azka, Laila, dan Intan. Di sepanjang jalan kami terus saja mengobrol sampai akhirnya “Duluan ya Ta..” sapa Azka padaku sambil memegang bahuku yang sebelah, sementara aku tetap duduk karena memang rumahku lebih jauh darinya. Kedua temanku yang lain sudah turun sedari tadi. Kini tinggal aku sendirian di dalam angkutan umum. Bayang-bayang Randy kembali bermain-main di ujung mataku. Senyumku mengambang dan sejenak terpejam. “Ya Tuhan, mengapa dia menyita pikiranku akhir-akhir ini?”, tanyaku dalam hati. Ku rasakan detak jantungku begitu kuat, sedangkan saat itu aku belum dan sama sekali tidak dekat dengannya, bahkan aku juga  hanya sekedar tahu tentang dirinya.
       Bau sisa kenalpot masih menempel di badanku. Aku melangkah tertatih-tatih menghindari gumpalan tanah becek sekitar perkampungan sisa hujan tadi siang. Sementara bunyi lengau pun ikut memeriahkan suasana sore itu. Namun aku sama sekali tidak merasa jijik ataupun muak. Aku membelok pada sebuah gang kecil ke sebuah rumah yang sederhana. Aku melihat wanita separuh baya menyapaku dengan senyumnya yang menawan.
       Dia adalah ibuku. Aku adalah anak dari keluarga sederhana yang hidup dan tinggal di pedesaan. Suasana di sini masih sejuk dan asri. Banyak sawah serta pepohonan yang rindang, serta sungai besar yang memisahkan desaku dengan desa seberang. Dulu sewaktu kecil, aku sering sekali bermain di sungai bersama teman-temanku. Bahkan hampir setiap hari. Terkadang aku membuat ibuku khawatir hingga aku dimarahi oleh beliau. Ibuku adalah seorang ibu yang luar biasa. Bila aku besar nanti, aku ingin menjadi wanita selayaknya ibuku. Meskipun pendidikan beliau rendah hanya lulusan SD, namun beliau disegani di desa kami. Karena memang beliau pintar dalam segala hal. Beliau juga sosok yang berani. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adikku lahir ketika aku berumur empat tahun. Aku menatapnya sejenak, ada keharuan yang menyentak relung hatiku. Aku mencium tangannya yang lembut sembari memberi salam dengan riangnya. Aku melangkahkan kakiku ke dalam dan segera menuju kamar. Menaruh ranselku kemudian mengambil handuk di penjemuran dan menikmati segarnya membasuh keringat dengan air dingin.
       Suasana depan rumahku yang hening dengan angin yang sepoi-sepoi membuatku enggan beranjak. Aku meraih Handphone di saku celana jeans yang aku kenakan. Aku meminta Mery memberiku nomor handphone salah seorang teman satu anggota “step” padanya. Lucu bukan? Grup ini tidak sengaja kami bentuk atas usul Azka. Pada awalnya Azka selalu mengejek Randy dengan kata-kata step. Sesederhana itu saja kemudian terbentuklah grup step yang entah aku sendiri masuk ke dalam grup itu. Kembali pada Mery, saat itu kebetulan dia memberiku nomor milik Randy. Tanpa basa-basi aku mengirim sebuah pesan singkat pada Randy. Sekali itu aku tak berani mengaku. Sengaja aku membuatnya bingung. Sesekali aku tertawa membaca balasan Randy. Gadis remaja ini sedang jatuh cinta rupanya.
       Matahari mulai turun perlahan ke peraduannya di ufuk barat. Cahaya keemasan yang dipancarkan mempercantik alam nan elok. Terlihat sang raja siang mulai tenggelam di balik gunung. Matahari sudah mulai sempurna tenggelam. Cahaya kemerahan mulai menyelimuti awan yang berarak pelan ditiup angin. Lampu-lampu  jalan mulai menghias diri menyambut datangnya malam. Adzan maghrib terdengar bersahut-sahutan di desaku. Lantunan kalimat agung mengalun menyusup ke dalam hati orang-orang yang mendambakan kebahagiaan yang dijanjikan-Nya. Kebahagiaan yang berpangkal dari pengabdian yang tulus pada sang pencipta.
       Keadaan di sini sudah mulai sepi. Aku beranjak dari tempat dudukku. Masuk ke dalam rumah dan mengambil air wudhu, kemudian menunaikan ibadah sholat maghrib.
       Buku-buku eksak di meja belajar telah menantiku. Setelah selesai membaca beberapa ayat suci Al-Qur’an aku melanjutkan kegiatanku dengan belajar. Sedari kecil aku selalu dibiasakan oleh ibuku untuk membaca Al-Qur’an seusai menunaikan sholat maghrib. Aku segera membuka buku-buku itu satu per satu. Mencoba mengerjakan beberapa soal dan menghafal yang harus aku hafalkan.
“Mbak Tata..”
       Begitulah ketika adikku memanggilku. Suaranya begitu memelas mencoba memintaku membantunya mengerjakan PR dari sekolah. Ya, penggilanku di rumah adalah Tata. Orang-orang hanya mengambil bagian kecil dari belakang namaku Anita.
“Ini yang nomer 5 gimana mbak?”, tukasnya bertanya padaku.
       Aku mengajarinya dengan mudah. Kebetulan adikku  termasuk murid teladan di sekolahnya. Tak jarang ia mendapatkan peringkat pertama setiap kenaikan kelas. Adikku anak yang rajin dan berbakti pada orang tua. Ia anak yang penurut, lebih daripada aku. Terkadang aku bercermin pada bagaimana adikku bersopan satun dengan orang tua.
       Malam semakin larut. Mataku semakin perih menatap banyak sekali huruf dan angka. Semua buku aku tutup dan aku masukkan ke dalam ransel. Begitu yang diajarkan Ayahku sejak dulu setiap selesai belajar. Dia akan banyak sekali bicara apabila aku tidak disiplin mengerjakan dan membagi semua aktifitasku. Aku membaringkan tubuhku ke ranjang. Mataku terpejam perlahan.
       Esoknya seperti biasa. Suasana pagi di lingkungan sekolah begitu indah, ramai dengan celotehan anak-anak, dan seperti biasanya pula siangnya kami harus melahap beberapa soal prediksi Ujian Nasional setelah menunaikan ibadah sholat dhuhur.
       Sambil menunggu waktu dhuhur tiba, aku bersama teman-temanku dan beberapa anak lain termasuk Randy bermain di kelas 2B. Dia sering berkumpul dengan kami akhir-akhir ini. Sekarang aku merasa sudah lumayan akrab dengannya. Aku juga sudah tidak canggung untuk menimbrung pembicarannya dengan teman-temanku. Kami juga sering bertegur sapa dan bercanda sekarang. Suasana semakin gaduh ketika salah satu temanku merobek buku milik Yoshua. Kami mengikuti kelakuan jahilnya. Dengan agak kesal Yoshua mengejar kami. Randy berlari menuju ke arahku, memberiku sehelai kertas yang telah sengaja ia robek dari buku Yoshua. Saat itu, ia menatapku hening. Aku terdiam dari tawaku sejenak, meresapi tatapan mata indahnya kemudian menerima sehelai kertas itu. Aku dan Randy kembali berlari didekati Yoshua. Agaknya ia kesal dengan kelakuan jahil kami. Bagaimana tidak, buku yang ia gunakan untuk corat-coret jika mengerjakan soal matematika kami robek sedikit hanya untuk kesenangan sesaat. Namun, Yoshua bukan orang yang pendendam, walaupun merasa kesal pada akhirnya ia ikut tertawa bersama kami. Mungkin kenangan jahil seperti ini lah yang akan selalu kami ingat bersama Yoshua.
       Aku dan beberapa diantara kami mulai merasa letih berlarian, kami menghentikan lelucon jail itu. Keadaan di dalam  kelas kini mulai terasa sepi. Hanya tertinggal aku, Randy, keenam temanku, dan salah satu teman Randy, yaitu Rio.
       Aku berdiri tepat di pintu kelas 2A. sementara Randy berdiri tepat di pintu kelas 2B. Aku dan Randy berbincang-bincang sambil mengayunkan pintu tempat kami berdiri. Siang itu terasa sangat dingin. Aku merasakan tubuhku merinding di hempas angin. Karena tak kuat aku pun meminjam jaket yang di kenakan Randy. Aku membawanya masuk ke dalam kelas dan memakainya. Sangat longgar di badanku, namun hangatnya telah menghilangkan dingin yang menyentak tulang-tulangku. Aku mencium baunya telah akrab dihidungku. Wanginya mengiang-ngiang tak pernah lepas.
Kulihat Azka sedikit tidak suka aku mengenakan jaket milik Randy. Wajahnya sedikit menyeringai. Aku tak tahu apa maksud Azka. Yang sangat jelas terlihat Azka seperti cemburu melihat hal ini. Apakah Azka menyukai Randy? Entahlah.. ia tak pernah bercerita kepadaku juga teman-teman. Ia hanya terlihat sering mengajak Randy untuk bercanda dengannya.
Azka adalah tipe orang yang apabila ia benci akan suatu hal maka semua itu akan terlukis jelas pada guratan wajahnya. Aku mengenal Azka lebih lama daripada kelima temanku. Aku sudah mengenalnya sedari kecil, dan sebagian sifatnya telah aku pahami. Namun, sebenarnya apa yang sedang dipikirkan oleh Azka? Selama ini tak pernah terlihat secara jelas ada yang ia sembunyikan dari kami, tak penah terlihat jelas apa yang terjadi antara Azka dengan Randy. Mereka nampak biasa-biasa saja. Berbicara sewajarnya, bercanda pun juga nampak sewajarnya.

Aku masih berbincang-bincang dengan Laila dan Intan, sementara yang lain telah pergi ke kelas masing-masing. Seperti biasa, akan ada tes sore hari ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.30, kuajak temna-temanku kembali ke kelas kami. Kulihat Randy dan Rio masih berada di kelas sebelah. Mereka sedang asyik berbincang-bincang. Kupanggil Randy pelan-pelan. Kukembalikan jaket milik Randy yang sedari tadi aku pinjam. Jaket abu-abu kesayangannya. Kemudian kami berenam turun bersama dan kembali ke kelas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar